Pada suatu pengajian Cak Nun di Demak, tiba-tiba ada seorang remaja naik ke atas panggung. Dengan sigap, panitia acara lantas mengusir remaja laki-laki gila tersebut, karena panitia dan masyarakat sekitar tahu bahwa remaja laki-laki tersebut memang terkenal gila betulan.
Di
saat ribuan orang menganggapnya gila, hanya satu orang yang mau menyapa
hatinya. Cak Nun memanggil remaja laki-laki gila tersebut untuk kembali
ke atas panggung. Di saat ribuan orang menganggapnya seperti virus
penyakit sehingga harus dijauhi, bahkan kalau perlu diludahi kalau nekat
mendekat, Cak Nun langsung mendekap tubuh bocah kesepian tersebut.
Bocah
tersebut pun sangat kaget, karena di dunia ini masih ada orang yang mau
menyapa hatinya, bahkan memeluk tubuhnya. Tanpa ada rasa jijik
sedikitpun. Tanpa ada rasa malu sedikitpun. Sosok berbaju putih tersebut
justru memeluknya semakin mesra dan menatap ribuan jama’ah sambil
tersenyum. Seolah Cak Nun ingin bilang pada masyarakat Demak, “Ini salah
satu anakku.”
Remaja
laki-laki itu memang bocah kesepian. Namanya Edy Setiawan. Sudah
yatim-piatu, dianggap orang gila pula. Hidup sebatang kara di dunia ini.
Tidak ada yang mau menjadi temannya. Mungkin kalau ia mendekati
teman-teman sebayanya, ia akan dipukuli agar takut mendekat lagi.
Mungkin kalau ia duduk-duduk di warung makan, ia akan langsung diberi
krupuk dan diusir.
***
Seorang
Muhammad Ai(nun) Nadjib memang manusia berlian. Hati beliau bening,
mengkristal indah, dan bisa memancarkan cahaya kasih sayang. Meski luar
biasa “mahal”, seorang Cak Nun tidak risih bercengkrama dengan rakyat
jelata, bahkan mau memeluk orang gila.
Meski
diakui kadar intelektualitasnya oleh profesor-profesor dari negara maju
di Eropa Barat, Cak Nun mau mendidik orang-orang di perdesaan yang
mungkin kebanyakan hanya tamatan wajib belajar 9 tahun. Bercengkrama
semalam suntuk. Mendengarkan keluh kesah. Membesarkan hati. Selama 20
tahun keliling Indonesia tanpa henti. Sudah “jalan kaki” ke lebih dari
1.300 desa di 28 provinsi.
Cak
Nun tidak mengenal gengsi seperti kebanyakan diri kita. Meski sering
keliling dunia di empat benua, bertemu petinggi-petinggi negara dan
pemuka agama taraf internasional, beliau mau berteman akrab dengan
kuli-kuli gendong di pasar. Meski sahabat seorang raja (Sultan HB X),
beliau tetap mau kumpul-kumpul cekakakan dengan para preman dan para
tukang becak.
Meski
sangat ditakuti Pak SBY yang konon mengaku seorang presiden, beliau mau
menerima telepon dari seorang gelandangan. Beliau tidak risih, bahkan
bergembira, mendengar “laporan” pemuda pengangguran 35 tahun yang
berlagak intelijen tentang situasi demo di depan DPR.
Meski
di-kiyai-kan oleh para kiyai, Cak Nun tetap mau mengadakan pengajian
khusus untuk para pelacur di beberapa tempat. Tidak pernah memvonis
masuk neraka, tapi untuk membesarkan hati. Para pembaca tulisan saya ini
yang dari kalangan pesantren pasti akrab dengan dua adagium ini: Kalau
tidak bisa mempebaiki, jangan menambah kerusakan. Menghindari mudharat
lebih diutamakan daripada mengharapkan manfaat.
Kalau
diri kita tidak bisa menolong para pelacur untuk keluar dari lembah
hitam, diri kita jangan juga lantas memutus harapan para pelacur dari
kasih sayang Allah. Ingin tampak lebih gagah dan lebih suci? Hanya orang
yang tidak gagah dan tidak suci yang butuh pengakuan.
Jangankan
membutuhkan pengakuan, bahkan beliau senang menutupi aneka kebesaran
yang sudah melekat pada dirinya sendiri. Sekalipun keturunan Imam Zahid,
tapi tidak mau dipanggil “gus”. Perlu para pembaca tahu, Imam Zahid itu
sahabat Hadratusyeikh Hasyim Asy’ari, sama-sama santri kinasihnya
Syaihkona Kholil Bangkalan. Tak heran pula Gus Dur sangat menyayangi Cak
Nun, demikian pula sebaliknya.
***
Ketika
seorang presiden “menasionalisasi” Lumpur Lapindo, bahkan menyebutnya
sebagai bencana alam, akhirnya Cak Nun yang pasang badan untuk 11.800
keluarga korban. Cak Nun sendiri yang menelpon Ibu Rosmiyah Bakrie,
meminta agar anaknya mau menyantuni puluhan ribu warga Sidoarjo, meski
pengadilan telah menyatakan perusahaan anaknya tidak bersalah.
Ketika
bentrokan antara perusahaan budidaya udang dengan petambak udang di
Tulangbawang sudah memuncak, hingga menewaskan tiga orang dan membuat
cukup banyak orang luka-luka, Cak Nun tampil menengahi kedua pihak.
Beliau pun meminta diadakannya perubahan paradigma pemerintahan
kabupaten Tulangbawang dan pembenahan pada tingkat elit perusahaan.
Alhasil, selang beberapa waktu, kedua pihak tersebut tidak hanya rukun,
tapi juga semakin sejahtera. Perusahaan budidaya udang semakin laba,
para petambak udang semakin sejahtera.
Tentu masih banyak cerita heroik lainnya. Lalu, demi pamrih apakah Cak Nun tampil dimana-mana? Popularitas? Uang?
Jika
Anda menganggap perjuangan seorang Muhammad Ainun Nadjib untuk materi
dunia, pasti Anda ditertawakan Pak Harto. Sedikit cerita,
sejengkel-jengkelnya Pak Harto pada kritikan pedas Cak Nun terkait
jalannya Orde Baru, Pak Harto tidak bisa memenjarakan beliau. Pak Harto
sangat tahu bahwa beliau tulus orangnya.
Satu-satunya
orang yang berani “kurang ajar” pada Pak Harto hanya Cak Nun—semisal
lingguh jigang atau berambut gondrong saat di istana—dan Pak Harto tidak
bisa marah. Ketika Cak Nun bilang kepada Pak Harto untuk segera mandeg
pandhito, Pak Harto hanya diam tersenyum dan mengangguk. Sebab Pak Harto
tahu Cak Nun kalau ngomong sesuatu bukan untuk dirinya sendiri.
Diiming-imingi saham perusahaan, Cak Nun menolak. Ditawari jabatan
menteri pada 1980-an, Cak Nun juga menolak.
Semua
perjuangan ikhlas demi rakyat. Orang bisa berbohong dan berhasil
membohongi banyak orang, tapi tidak akan bisa bertahun-tahun. Level
penipu ulung sekalipun. Sebab manusia digariskan tidak akan tahan
menjadi bukan dirinya sendiri lama-lama. Ini rumusnya.
Seorang
Muhammad Ainun Nadjib mampu mengayomi rakyat 20 tahun lamanya, tanpa
pernah meminta upah seperser pun. Dari 20 tahun lalu hingga detik ini
beliau tidak pernah berubah. Selalu mengayomi rakyat.
Ketika
dulu masih muda, setelah shalat di mushola, beliau mendapat suatu
ilham. Tanpa pikir panjang, beliau segera menelpon saudara-saudaranya di
Jombang. Minta dicarikan empat orang yang sangat miskin tapi akhlaknya
baik malam itu juga. Sebab besok paginya beliau akan mengirim uang ke
Jombang, untuk ongkos naik haji keempat orang tersebut.
Tetap
saja begitu hingga sekarang. Beliau tetap sering mengirimkan uang ke
banyak orang miskin. Entah untuk ongkos naik haji, entah untuk modal
usaha bikin warung kelontong, entah untuk beasiswa, dan sebagainya.
Apakah persediaan uang tersebut ada dengan jalan meminta? Atau mengajukan proposal? Tidak pernah sekalipun.
Dulu
Cak Nun pernah akan diberi cek dengan nominal Rp. 3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah) oleh seorang pengusaha, tapi cek tersebut langsung
disobek beliau. Sekadar info, menyobek cek itu aslinya tidak apa-apa,
karena uangnya tetap utuh di dalam brangkas bank. ”Kalau ketemu saya
lagi, mending ditraktir makan saja,” kata beliau sambil tersenyum.
Ciri-ciri
pejuang sejati adalah mampu menghidupi perut dan idealisme dirinya
sendiri. Ciri-ciri pejuang sejati adalah mampu menolong orang lain
dengan hasil kerja keras dirinya sendiri.
***
Indonesia
ibaratnya adalah sebuah kapal yang panjangnya 12,5 kilometer. Kapal
raksasa ini mempunyai 39 rusuk. Ada sekitar 15 rusuk yang sudah retak,
dan sungguh kapal ini tinggal menunggu waktu untuk tenggelam, kalau
tidak diperbaiki. Apalagi empat dari lima ruangan utama kapal ini sudah
hancur.
Mungkin
tidak dalam waktu dekat. Tapi, yang jelas, suatu hari Indonesia akan
mendatangi kesejatian, karena kepalsuan bersifat sementara dan kegelapan
bersifat menghancurkan. Indonesia mau tidak mau akan mengikuti
kesejatian, sebab hanya kesejatian yang memiliki perspektif masa depan
cerah.
Tulisan
ini sama sekali bukan untuk me-monumen-kan Muhammad Ainun Nadjib,
karena haram hukumnya mabuk pada seseorang. Ketika saya menulis tentang
Cak Nun, Gus Dur, Gus Mus, atau yang lainnya, harapan saya adalah untuk
dijadikan uswatun hasanah.
Jika
kita menjadikan “Cak Nun” sebagai kata kerja yang cair dan dinamis,
bukannya sebagai kata benda yang padat dan statis, maka beliau akan
bernasib sama dengan Bung Karno dan Gus Dur kelak. Tidak ada manusia
yang hidup abadi, tapi dengan suatu mekanisme cinta, beliau akan bisa
tetap selalu hidup...di hati kita.
Saya
tidak berani berharap apa-apa pada Indonesia. Bangsa ini memang tidak
butuh Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, maupun Muhammad Ainun
Nadjib, karena ketiganya manusia yang agung.
Suatu
hari, karena tidak kuat membayar ustadz yang muda, ganteng dan
terkenal, akhirnya para TKW di Hong Kong meminta Cak Nun yang datang. Di
luar dugaan, Cak Nun hanya mau dengan tiga syarat; (1) Tidak mau
dibayar, (2) tidak perlu dijemput di bandara, dan (3) tidak mau tidur di
hotel.
Akhirnya,
Cak Nun terbang ke Hong Kong dengan kocek sendiri, menuju lokasi naik
bus, dan istirahat malam di rumah inap biasa. Ketika ditanya para TKW
Hong Kong kenapa sampai berbuat demikian, beliau menjawab, “Aku datang
sebagai bapakmu.”
Muhammad Ainun Nadjib. Perpaduan antara kedahsyatan dengan kelembutan. Pengayom sebuah bangsa yang yatim.
0 Komentar
Penulisan markup di komentar