proppeler

Sayyidina Usamah bin Zed

April 20, 2014 Add Comment
Sayyidina Usamah bin Zed
Berhati Lembut, Berjiwa Ksatria

Ketika pada tahun ke-tujuh sebelum Hijriyah beliau lahir dari ibu yang bernama Ummu Aiman yang mana si ibu dulunya pernah menjadi pembantu dan pengasuh Rasulullah di masa kecil. Ketika mendengar kabar tersebut betapa bahagianya Rasulullah dengan tampak dalam wajah beliau yang berseri-seri. Hal itu disebabkan oleh dua hal, yang pertama bahwa Ummu Aiman dulunya adalah pengasuh Rasulullah ketika meninggalnya Sayyidah Aminah. Bahkan Rasulullah pernah berkata tentang Ummu Aiman, “Dia adalah ibuku setelah ibuku (Aminah) dan dia termasuk dari keluargaku”.

Maka dari itulah Rasullah sangat mencintainya, yang kedua bahwa ayah beliau, Zaid, adalah teman akrab Rasulullah sekaligus tempat tukar pendapat dalam suatu masalah. Begitu pula para sahabat pada waktu itu juga senang dan gembira ketika mendengar kelahiran Usamah bin Zaid seakan-akan tidaklah mereka bergembira seperti pada waktu itu, karena semua yang menyenangkan Rasulullah juga membuat senang kepada para sahabat.



Pada waktu itu Usamah sejajar dengan Hasan bin Ali dari segi umurnya, akan tetapi mereka berdua berbeda dalam bentuk fisiknya, Hasan bin Ali berperawakan putih, tampan seperti kakeknya Rasulullah dan Usamah berkulit hitam menyerupai ibunya yang berasal dari Habasyah. Akan tetapi Rasulullah tidak memandang hal itu semua dan tidak membedakan di antara keduanya dalam membagi kesayangan. Pernah pada suatu hari Rasulullah meletakkan Usamah di pahanya dan Hasan bin Ali di salah satu pahanya yang lain, kemudian Rasulullah memeluk keduanya di dada beliau yang suci seraya berkata, “Ya Allah, sesungguhnya aku mencintai keduanya, maka cintailah keduanya”. Termasuk bukti lain cinta Rasulullah kepadanya, pernah suatu ketika Usamah jatuh dan kepalanya luka terkena daun pintu hingga mengalirlah darah di kepalanya banyak sekali. Kemudian Nabi menyuruh Aisyah untuk menghilangkan darahnya akan tetapi beliau enggan disebabkan Aisyah tidak tega terhadapnya, dan Rasulullah bangun melakukan sendirian dengan mengusap darah yang mengalir di kepala usamah dengan penuh rasa kasih sayang.

Tatkala Usamah menginjak masa dewasa tampak dalam dirinya kemulyaan perangainya dan besar wibawanya di mata para sahabat, dilain itu beliau termasuk orang yang sangat cerdas, wara’ juga pemberani yang mana keberanian beliau tidak dimiliki oleh sahabat-sahabat yang lain.

Pada waktu perang Uhud Usamah bersama-sama beberapa pemuda menghadap Rasulullah untuk diperbolehkan mengikuti jihad, dan Rasulullah memilih diantara mereka yang sudah memenuhi kriteria dalam jihad fisabilillah dan menolak yang tidak sesuai dengan kriteria tersebut, dan Usamah termasuk orang yang ditolak Rasulullah karena dia masih sangat kecil sekali untuk mengikuti peperangan, maka kembalilah Usamah dengan deraian air mata yang membasahi di kedua pipinya.

Pada perang Khandaq sekali lagi Usamah bersama beberapa pemuda dari sahabat meminta supaya diizinkan untuk mengikuti perang tersebut dan akhirnya Rasulullah menyetujuinya sedangkan pada saat itu Usamah masih berumur lima belas tahun.

Di saat di mana orang muslim hampir mengalami kekalahan di medan Hunain, Usamah tetap tegar di medan perang bersama beberapa para sahabat di antaranya Abbas dan Abi Sofyan untuk menemani Rasulullah dalam melawan kaum kafir yang mana akhirnya kaum muslimin dapat mengalahkan orang-orang kafir dengan pertolongan Allah SWT.

Begitu pula dalam perang Mu’tah Usamah ikut serta di dalamnya, di bawah pimpinan ayahnya sendiri Zaid bin Haritsah, Usamah dengan beraninya menghadapi orang-orang Romawi yang terkenal akan kehebatan dalam peperangan, meski beliau masih berumur di bawah delapan belas tahun, di waktu itu juga ayah yang beliau sayangi meninggal sebagai syahid. Akan tetapi semangat Usamah tidak luntur sama sekali sekalipun ayahnya meninggal di hadapan kedua matanya. Usamah berperang dengan gagah berani di bawah pimpinan Khalid bin Walid yang akhirnya Allah memberikan kemenangan yang gemilang atas orang Romawi.

Di tahun sebelas Hijriyah Rasulullah memerintah para sahabat untuk menyiapkan bala tentara untuk memerangi orang-orang Romawi, dan termasuk serta Usamah, sedangkan umur beliau belum genap dua puluh tahun, tatkala bala tentara akan berangkat menuju medan perang, Rasulullah mengalami sakit keras dan berhentilah para rombongan untuk menunggu akan keadaan Rasulullah. Berkatalah Usamah saat kejadian pada saat itu, “Tatkala sakit Rasulullah bertambah parah, aku bersama beberapa sahabat menghadap Rasulullah. Kemudian aku masuk kepada beliau. Aku mendapati beliau diam tidak berbicara sama sekali. Hal itu disebabkan sangat parahnya penyakit Rasulullah. Tiba-tiba Rasulullah mengangkat tangannya ke langit kemudian meletakkannya di dadaku, aku mengetahui bahwa beliau mendoakanku. “

Tatkala Rasulullah wafat telah disepakati bahwa tongkat estafet kepimpinan untuk menggantikan Rasulullah pada saat itu yaitu Abu bakar, dan beliau meneruskan jejak Rasulullah untuk mengirim bala tentara ke Romawi di bawah pimpinan Usamah, akan tetapi sebagian dari kaum Ansar meminta kepada Umar bin Khattab untuk mengusulkan kepada Abu bakar bahwa dalam memimpin pasukan dibutuhkan orang yang lebih tua dari Usamah, akan tetapi tatkala Abu bakar mendengar usulan Umar tersebut beliau marah dengan memegang jenggot Umar seraya berkata, “Rasulullah memerintahnya (Usamah) dan engkau memerintahkan aku untuk meninggalkannya. Demi Allah tidak akan kulakukan hal itu”. Ketika mendengar perkataan Abu Bakar itu melunaklah hati Umar begitu pula para sahabat lainnya.

Berlalulah para rombongan perang di bawah pimpinan Usamah bin Zaid dengan didampingi Khalifatur rasulillah Abu-bakar. Pada saat itu Usamah duduk di kendaraan dan Abu-bakar yang nota benanya sebagai khalifah berjalan dibawahnya. Melihat pemandangan yang janggal tersebut Usamah pun berkata, ”Wahai khalifatur rasulillah, demi Allah, naiklah atau aku akan turun”. Maka Abu bakar pun manjawab, ”Demi Allah, jangan kamu turun, dan demi Allah aku tidak naik kendaraan. Sama sekali aku tidak mengotori kedua kakiku dalam sabilillah sekalipun sesaat saja”. Kemudian dibalas oleh Usamah dengan jawaban yang penuh makna, “Aku menitipkan kepada Allah agamamu, amanatmu juga penghujung amalmu dan aku berwasiat kepadamu untuk melaksanakan apa yang diperintahkan Rasulullah.” Berlalulah rombongan Usamah bin Zaid dan mereka pun melaksanakan apa yang diperintahkan Rasulullah dan mereka pun berhasil menguasai beberapa daerah di Palestina juga menghancurkan kewibawaan Negara Romawi yang pada waktu itu ditakuti oleh lawan-lawan perang. Kemudian Usamah kembali dengan posisi duduk di tempat di mana ayahnya dulu meninggal sebagai syuhada dan barang-barang rampasan perang pun berhasil dia bawa pulang.

Melihat keberanian Usamah tersebut, sahabat Umar memberikan kepadanya sebuah pemberian yang banyak sekali bahkan bagian yang beliau berikan kepada anaknya tidak sebanding dengan apa yang diberikan kepada Usamah. Sampai-sampai Abdulullah bin Umar mengadu kepada ayahnya, “Wahai ayahku, engkau berikan kepada Usamah empat ribu dinar, dan yang engkau berikan kepadaku tiga ribu dinar, tidaklah aku ini anakmu yang selayaknya engkau berikan lebih banyak daripada dia?” Maka Umar menjawab, “Sesungguhnya Ayahnya (Zaid) sangat dicintai Rasulullah daripada ayahmu ini dan dia (Usamah) sangat dicintai Rasulullah daripada kamu”. Mendengar jawaban tersebut ridholah hati Abdullah bin Umar terhadap pemberian yang diberikan oleh ayahnya. Bahkan setiap bertemu dengan Usamah, Umar bin Khattab menyambutnya dengan ucapan, “Selamat datang pemimpinku”.

Itulah cuplikan dari kisah seorang pemuda yang berani dalam membela agama Allah tanpa mempedulikan sesuatu yang mengancam jiwanya, dari sinilah kita sebagai pemuda penerus bangsa dan agama alangkah patutlah meniru sosok seorang sahabat yang pemberani Usamah bin Zaid.

Syeikh Taqiuddin Abu Bakar Al-Assni Al-Husaini

April 20, 2014 Add Comment
Syeikh Taqiuddin Abu Bakar Al-Assni Al-Husaini
Beliau adalah seorang wali besar yang mempunyai karamah luar biasa. Beliau termasuk Ahlil-Bait dari silisilah Al-Husaini dan bermazhab Syafi’i.

Tentang karamahnya sangat besar. Pernah diceritakan bahwa ketika tentera Islam keluar untuk berperang di Cyprus banyak orang menyaksikan bahawa Syeikh Taqiuddin ikut berperang bersama sejumlah pasukan yang terdiri dari murid beliau. Cerita tersebut waktu diceritakan pada penduduk yang tidak ikut ke medan perang mereka hanya menjawab: “Seharipun kita tidak berpisah dari Syeikh dan beliau selalu berada bersama kami”.
Diceritakan pula bahwa Syeikh sering memberi makan pada orang banyak dengan buah kurma yang masih segar pada saat-saat yang bukan musimnya.


Demikian pula diceritakan bahawasanya sekelompok jemaah haji yang ikut berhaji di suatu tahun. Rombongan haji itu ada melihat Syeikh berada di Madinah. Ada pula yang melihatnya di Mekah dan Arafah, ketika mereka kembali dari perjalanan hajinya mereka ceritakan kepada penduduk apa yang mereka lihat pada diri beliau di tiga tempat suci itu. Jawab penduduk: “Seharipun Syeikh tidak meninggalkan kota Damascus selama musim haji”.

Selain sebagai seorang wali beliau juga dikenal sebagai ulama besar yang banyak karya ilmiahnya seperti kitab Syarhul Minhaj, Syarah Muslim, Syarah Asmaul Husna, kitab Siarus Saalik sebanyak tiga jilid, Qam’un Nufus dan Kitab Alkifayah Syarah Ibnu Qasim Al-Ghazi.

Dipetik dari: Kemuliaan Para Wali – karangan Zulkifli Mat Isa, terbitan Perniagaan Jahabersa

Sayid Muhammad Maulad Dawilah

April 20, 2014 Add Comment
Sayid Muhammad Maulad Dawilah
Banyak Menerima Karunia Allah SWT

Setiap namanya disebut, maka setiap orang yang mendengar akan senang hatinya. Ia adalah sosok auliya yang paling banyak menerima karunia-karunia Allah SWT
Ia dikenal hafal separuh al-Qur’an, tetapi anehnya jika ada yang keliru dalam bacaannya pada separuh bagian kedua, maka ia dapat mengingatkan bacaan yang keliru itu, sehingga pembacanya akan mengulangi bacaan yang keliru itu.
Ulama itu adalah Sayid Muhammad Maulad Dawilah, nama lengkapnya adalah Sayid Muhammad Maulad Dawilah bin Imam Ali bin Alwi Al-Ghuyur bin Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa, dan terus bersambung nasabnya sampai Rasulullah SAW.

Muhammad Maulad Dawilah lahir dan dibesarkan di kota Tarim. Sejak kecil, ia telah ditinggal mati sang ayahnya. Sehingga ia diasuh dan dibesarkan oleh sang paman, Sayid Abdullah. Selama dalam asuhan sang paman itulah ia benar-benar mendapatkan pendidikan dan asuhan yang terbaik. Maka wajarlah bila dalam usia remaja ia telah mempunyai ilmu yang tinggi, manis budi pekerti dan ketakwaan yang tinggi.
Sebagaimana para ulama dan auliya’ dari Hadramaut. Ia juga suka berkelana ke berbagai negeri untuk beribadah dan menimba ilmu. Sewaktu menunaikan ibadah haji dan umrah, ia menyempatkan diri untuk mukim di Madinah sembari belajar agama, khususnya bidang fiqh. Tidak banyak disebutkan, ia belajar tentang dunia tulis menulis, tetapi setiap ilmu syariat yang ia pelajari maka ia selalu mengamalkannya. Karena itu, tidak heran bila ia mendapat kemuliaan seperti yang didapat para ulama kenamaan.
Ia adalah sosok ulama yang tawadhu’, banyak melatih diri dan membebaninya dengan berbagai amal kebajikan dan ibadah. Kebanyakan amalan yang ia lakukan adalah amalan yang berhubungan dengan hati, bahkan ia selalu menyembunyikan amal-amal ibadahnya dari manusia yang lain, lebih-lebih dari keluarganya sendiri.
Pada umumnya ia suka mengasingkan diri di tengah padang pasir atau di dusun yang tidak berpenghuni. Karena itu, ia banyak mendapatkan keistimewaan atau yang lebih dikenal dengan karamah dari Allah SWT. Diantara karamah yang ia miliki yakni ia dapat menuturkan berbagai masalah dalam hukum-hukum syariat dan hakekat sampai kepada akar-akarnya yang paling bawah.
Alkisah, ketika salah seorang puteranya bertanya tentang kebolehan yang ia katakan, maka ia berkata,”Kami tidak menuturkan suatu masalah kecuali kami telah melampui batas-batas alam dunia dan akhirat, pada mulanya kami lampui batas-batas alam dunia dan akhirat, kemudian alam akhirat sampai wujud keduanya terasa tidak ada di hati kami selain hanya wujud Allah, maka di saat itulah timbul rasa rindu.”
Selanjutnya, ia menuturkan bait-bait puisi, ”Ketika kami tiba di majelis untuk bersenang-senang maka terpancarlah cahaya bagi kami dari alam gaib.” Sampai di akhir bait puisinya.
Selanjutnya ia memilih sebuah tempat terpencil di dekat pekuburan Nabi Hud As, nama tempat itu adalah Yabhar. Ia memilih tempat tersebut karena ada sebuah telaga air. Ia kemudian membangun tempat tinggal di sekitar tempat itu. Langkah ini dikuti oleh pengikut-pengikutnya, sehingga tempat yang sebelumnya di kenal sebagai tempat terpencil lambat laun kemudian berkembang menjadi ramai. Pemukiman kecil yang semula hanya terdiri dari beberapa keluarga kecil saja, makin lama berkembang menjadi sebuah desa yang maju, tempat itu dinamakan Yabhar Dawilah.
Sayid Muhammad Maulad Dawilah ini adakalanya melakukan hal-hal yang aneh. Sesekali ia mengenakan pakaian-pakaian yang mewah, seperti pakaian-pakaian yang dipakai kaum penguasa, tetapi adakalanya ia mengenakan pakaian compang-camping seperti yang dikenakan oleh kaum fakir miskin. Adakalanya ia berusaha mendekatkan diri dengan kaum penguasa, tetapi adakalanya ia menjauh dari penguasa dan mendekati orang-orang lemah yang tidak mampu.
Adakalanya ia membebani hidupnya dengan berbagai amal kebajikan dan ibadah. Diantaranya ia bangun malam dan puasa. Dikisahkan, ia melakukan shalat Subuh dengan wudhu untuk Isya’. Kebiasaan ini berjalan selama dua puluh tahun. Ia juga membiasakan berpuasa empat puluh hari berturut-turut di musim panas. Karena besarnya peningkatan ibadah-ibadahnya, maka ia mendapatkan berbagai macam karamah dan keistimewaan yang luar biasa dari Allah SWT.
Terhadap karamah dan karunia yang diterimanya itu, ia pernah berkata,”Biasa kami menyebut Allah dengan lisan dan hati. Kemudian, bentuk-bentuk huruf yang terucap dengan lisan itu lenyap, yang tersisa hanyalah cahaya yang memancar di dalam hati hingga sampai ke hadirat Allah.”
Nasehat-nasehat yang sangat bermakna diantaranya,”Sesungguhnya aku tidak takut menjadi miskin, sebab aku yakin bahwa karunia yang ada di sisi Allah lebih dekat dari apa yang ada di tanganku. Sesungguhnya aku tidak membenci kematian, sebab seseorang yang membenci kematian maka ia membenci untuk bertemu dengan Allah. Aku tidak pernah membenci tamu meskipun aku tidak memiliki sesuatu yang dapat aku berikan.”
Disebutkan suatu saat ketika ia hendak tampil menjadi imam shalat di masjid Ba’alawi, sebagian orang mencegahnya dan salah seorang dari mereka berkata dengan ketus kepadanya, ”Engkau seorang Arab dusun, engkau tidak pantas menjadi imam!”
Setelah selesai mengimami shalat, maka beliau dengan sangat tenang dan santun kemudian menerangkan sebuah surat di Al-Qur’an dengan keterangan yang mempesonakan para pendengarnya. Cara penyampaian yang penuh kelembutan dan penerangan yang gamblang membuat mereka sadar, bahwa ia adalah sosok seorang ulama yang berilmu.
Beberapa hari menjelang kematiannya, ia pernah mengucapkan bait-bait puisi tanda kecintaan kepada baginda Rasulullah SAW, ”Sesungguhnya setiap rumah yang engkau (Rasul) tempati, tidak butuh adanya lampu penerangan. Wajahmu yang bersinar adalah hujjah kami, pada hari ketika manusia mendatangkan berbagai macam hujjah.”
Dari hari ke hari ia semakin meningkatkan ketaatannya kepada Allah, sampai saatnya tiba berpulang ke rahmatullah pada hari Senin tanggal 10 bulan Sya’ban 965 H. Ia dimakamkan di pekuburan Zanbal, Tarim dan makam nya banyak dikenal dan diziarahi orang. Ia meninggalkan empat orang putera yakni Abdullah, Ali, Alwi dan Abdurahman Assegaf.

(Disarikan dari buku Alawiyyin, Asal-Usul dan Peranannya karya Alwi ibnu Muhammad ibnu Ahmad Balfaqih, PT LENTERA BASRITAMA, 1999)

Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari

April 20, 2014 Add Comment
Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari
Beliau dilahirkan di desa Lok Gabang pada hari kamis dinihari 15 Shofar 1122 H, bertepatan 19 Maret 1710 M. Anak pertama dari keluarga muslim yang taat beragama , yaitu Abdullah dan Siti Aminah. Sejak masa kecilnya Allah SWT telah menampakkan kelebihan pada dirinya yang membedakannya dengan kawan sebayanya. Dimana dia sangat patuh dan ta’zim kepada kedua orang tuanya, serta jujur dan santun dalam pergaulan bersama teman-temannya. Allah SWT juga menganugrahkan kepadanya kecerdasan berpikir serta bakat seni, khususnya di bidang lukis dan khat (kaligrafi).

Pada suatu hari, tatkala Sultan Kerajaan Banjar (Sultan Tahmidullah) mengadakan kunjungan ke kampung-kampung, dan sampailah ke kampung Lok Gabang alangkah terkesimanya Sang Sultan manakala melihat lukisan yang indah dan menawan hatinya. Maka ditanyakanlah siapa pelukisnya, maka dijawab orang bahwa Muhammad Arsyad lah sang pelukis. Mengetahui kecerdasan dan bakat sang pelukis, terbesitlah di hati sultan keinginan untuk mengasuh dan mendidik Muh. Arsyad kecil di istana yang ketika itu baru berusia ± 7 tahun.


Sultanpun mengutarakan goresan hatinya kepada kedua orang tua Muh. Arsyad. Pada mulanya Abdullah dan istrinya merasa enggan melepas anaknya yang tercinta. Tapi demi masa depan sang buah hati yang diharapkan menjadi anak yang berbakti kepada agama, negara dan orang tua, maka diterimalah tawaran sultan tersebut. Kepandaian Muh. Arsyad dalam membawa diri, sifatnya yang rendah hati, kesederhanaan hidup serta keluhuran budi pekertinya menjadikan segenap warga istana sayang dan hormat kepadanya. Bahkan sultanpun memperlakukannya seperti anak kandung sendiri.

Setelah dewasa beliau dikawinkan dengan seorang perempuan yang solehah bernama tuan “BAJUT”, seorang perempuan yang ta’at lagi berbakti pada suami sehingga terjalinlah hubungan saling pengertian dan hidup bahagia, seiring sejalan, seia sekata, bersama-sama meraih ridho Allah semata. Ketika istrinya mengandung anak yang pertama, terlintaslah di hati Muh. Arsyad suatu keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu di tanah suci Mekkah. Maka disampaikannyalah hasrat hatinya kepada sang istri tercinta.

Meskipun dengan berat hati mengingat usia pernikahan mereka yang masih muda, akhirnya Siti Aminah mengamini niat suci sang suami dan mendukungnya dalam meraih cita-cita. Maka, setelah mendapat restu dari sultan berangkatlah Muh. Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan cita-citanya.Deraian air mata dan untaian do’a mengiringi kepergiannya.

Di Tanah Suci, Muh. Arsyad mengaji kepada masyaikh terkemuka pada masa itu. Diantara guru beliau adalah Syekh ‘Athoillah bin Ahmad al Mishry, al Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al Kurdi dan al ‘Arif Billah Syekh Muhammad bin Abd. Karim al Samman al Hasani al Madani.

Syekh yang disebutkan terakhir adalah guru Muh. Arsyad di bidang tasawuf, dimana di bawah bimbingannyalah Muh. Arsyad melakukan suluk dan khalwat, sehingga mendapat ijazah darinya dengan kedudukan sebagai khalifah.

Menurut riwayat, Khalifah al Sayyid Muhammad al Samman di Indonesia pada masa itu, hanya empat orang, yaitu Syekh Muh. Arsyad al Banjari, Syekh Abd. Shomad al Palembani (Palembang), Syekh Abd. Wahab Bugis dan Syekh Abd. Rahman Mesri (Betawi). Mereka berempat dikenal dengan “Empat Serangkai dari Tanah Jawi” yang sama-sama menuntut ilmu di al Haramain al Syarifain.

Setelah lebih kurang 35 tahun menuntut ilmu, timbullah kerinduan akan kampung halaman. Terbayang di pelupuk mata indahnya tepian mandi yang diarak barisan pepohonan aren yang menjulang. Terngiang kicauan burung pipit di pematang dan desiran angin membelai hijaunya rumput. Terkenang akan kesabaran dan ketegaran sang istri yang setia menanti tanpa tahu sampai kapan penentiannya akan berakhir. Pada Bulan Ramadhan 1186 H bertepatan 1772 M, sampailah Muh. Arsyad di kampung halamannya Martapura pusat Kerajaan Banjar pada masa itu.

Sultan Tamjidillah (Raja Banjar) menyambut kedatangan beliau dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyatpun mengelu-elukannya sebagai seorang ulama “Matahari Agama” yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kerajaan Banjar. Aktivitas beliau sepulangnya dari Tanah Suci dicurahkan untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Baik kepada keluarga, kerabat ataupun masyarakat pada umumnya. Bahkan, sultanpun termasuk salah seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yang ‘alim lagi wara’.

Dalam menyampaikan ilmunya Syekh Muh. Arsyad mempunyai beberapa metode, di mana antara satu dengan yang lain saling menunjang. Adapun metode-metode tersebut, yaitu:

Bil-hal
Keteladanan yang baik (uswatun hasanah)yang direfleksikan dalam tingkah-laku, gerak-gerik dan tutur-kata sehari-hari dan disaksikan secara langsung oleh murid-murid beliau.

Bil-lisan
Dengan mengadakan pengajaran dan pengajian yang bisa diikuti siapa saja, baik keluarga, kerabat, sahabat dan handai taulan.

Bil-kitabah
Menggunakan bakat yang beliau miliki di bidang tulis-menulis, sehingga lahirlah lewat ketajaman penanya kitab-kitab yang menjadi pegangan umat. Buah tangannya yang paling monumental adalah kitab Sabilal Muhtadin Littafaqquh Fiddin, yang kemasyhurannya sampai ke Malaysia, Brunei dan Pattani (Thailand selatan).

Setelah ± 40 tahun mengembangkan dan menyiarkan Islam di wilayah Kerajaan Banjar, akhirnya pada hari selasa, 6 Syawwal 1227 H (1812 M) Allah SWT memanggil Syekh Muh. Arsyad ke hadirat-Nya. Usia beliau 105 tahun dan dimakamkan di desa Kalampayan, sehingga beliau juga dikenal dengan sebutan Datuk Kalampayan.